Jumat, 20 Februari 2015

Nestapa BlackBarry

Seusai melakukan safari reuni Makasar-Jogja, aku kembali ke rumah. Berangkat tanggal 15 Desember dan kembali Tanggal 15 Januari. Tepat sebulan.

Hari pertama, suasana rumahku masih diliputi kerinduan satu sama lain. Malamnya, ketika anak-anak telah tidur, dengan bangga kuperlihatkan foto-foto reuni pada istriku. Dia pun terlihat ceria menikmatinya. Foto-foto yang kusimpan dalam sebuah file laptop itu memang semuanya bernuansa ceria. Bagaimana tidak, pertemuan kembali dengan teman-teman pesantrenku baru pertama kalinya setelah lebih dari 20 tahun.

Hari kedua, seharian penuh belum ada kegiatan kecuali menemani anak-anakku bermain di rumah. Usai makan malam, kembali aku dan istriku bercengkerama diberanda rumah.

“Ma, sebentar malam bangunin ya, aku mau sholat lail”

“Hehe, tumben, apa tidak salah dengar nih, Pa? Sholat lail??”

“Ya, ini berkah reuni kali, Ma” Dengan senang kujawab sembari mengecup keningnya.

Soal sholat lail, istriku pasti memang heran. Wajarlah, karena selama ini memang hampir tak pernah kulakukan. Jangankan sholat lail, sholat 5 waktu saja sudah syukur kalau bisa tepat waktu.

Lalu kenapa tiba-tiba aku mulai suka bangun malam, sholat dan mengaji?? Ceritanya sedikit panjang, setidaknya berproses puluhan hari, sebulanlah kira-kira. Kisahnya pun agak unik dan sedikit dialektis.

Sekadar prolog kecil, kebiasaan bangun malam dan mengaji itu kulakukan atas nasihat seseorang yang kukenal saat reuni kemarin itu. Dia seorang ibu rumah tangga yang kebetulan pernah mondok juga walau tidak lama. Mirip-miriplah diriku yang juga meninggalkan pondok sebelum tamat.

Suatu hari via telepon, entah kenapa tiba-tiba saja ku percayainya dan menjadikannya tumpahan segala keluh kesahku. Anehnya, dia pun meresponnya dengan sangat baik. Padahal sejak di pondok dulu, baru kali itulah kami bertemu. Memang, pondok kami terpisah antara santri putra dan santri putri.

Perempuan lettingku itu sungguh berkesan bagiku. Hal paling berkesan adalah support dan motivasinya yang luar biasa. Dia membalikkan nalarku, memapah kepercayaanku, bahwa jalan yang menurutku tak bisa kulalui, menurutnya justru amat layak dan sangat pantas kulalui. Dia meyakinkanku, bahwa dengan rajin membaca Qur’an serta sholat malam, semua masalah akan bisa teratasi. Aku pun seperti menemukan cahaya kebenaranku kembali. Cahaya yang sesungguhnya telah hampir redup dalam gelegak darahku. Gairah yang dulu pernah meledak-ledak dalam diriku. Gairah yang dulu kuyakini sebagai spirit orang-orang-orang besar. Spirit para pemimpin.Gairah Originalku.


*******

Pukul 3.00, aku terbangun.

“Jam berapa, Ma? Sudah jam berapa??” Istriku hanya diam tak menjawab.

“Jam berapa, Ma?”

Sambil mengucek-ngucek mataku, kembali kubertanya. Istriku tetap membisu. Matanya menelusuriku tajam, seperti memendam selidik.

“Ada gerangan apa??” Batinku mulai bertanya-tanya.

Aku segera bangun, sekali lagi aku bertanya. Kali ini nada suaraku agak tinggi.

“Ma! Ini sudah jam berapa??

Tiba-tiba kedua matanya telah berada tepat didepan kedua bola mataku.

“Papa masih mimpi??”

Suaranya seperti sedang menahan beban yang sangat berat.

“Mimpi gimana? Aku tidak sedang mimpi, Ma!”

Sungguh ku tercengang dengan perubahan sikap istriku yang tiba-tiba ini. Sebelum tidur tadi, semua biasa-biasa saja, tak ada masalah sedikitpun.

“Pembohong kamu, Pa!! Kamu telah menyia-nyiakan kepercayaanku! Kamu tidak usah bohong! Kamu tidak bisa membohongiku! Aku ini istrimu. Aku bisa merasakannya. Hatimu tidak disini lagi. Dia hadir dalam tidurku. Hatimu telah ke lain hati”

Bersamaan dengan itu tangisnya pun meledak, Seluruh tubuhnya berguncang. Aku mulai faham apa yang terjadi. Apakah dalam tidurku tadi aku mengigau?

Tiba-tiba wanitaku itu menarik lenganku menuju meja. Sebuah laptop disana telah terbuka.

“Lihat ini!!! Hati dan fikiranmu seluruhnya ke perempuan ini, bukan?? Sungguh tega kamu lakukan itu padaku,Pa?!” Kini dia benar-benar menangis sejadi-jadinya. Tangisan sembilu, tangis yang sungguh menyayat hati.

Subhanallah. Bukankah foto yang ditunjukkannya itu memang benar adalah foto wanita yang telah mencuri hatiku itu? Bagaimana mungkin istriku tahu. Ya Allah, bagaimana mungkin?? Sungguh sebuah ketidakwajaran dan sungguh tak mampu kujangkau dengan nalar.

Aku lalu memeluknya, mendekapnya, kubenamkan wajahnya didadaku.

“Sudah Ma, tenangkan dulu dirimu. Itu semua tidak benar. Kamu hanya mimpi. Apa bijaksana jika secepat itu kau buat kesimpulan? Sudah ya! Kamu harus rasional dong. Itu cemburu buta namanya. Masa sama mimpi cemburu? Sudah ya, biar aku sholat dulu, mumpung belum subuh”
Aku terus membujuknya. Masih saja dia terisak. Kupeluk lebih erat lagi. Kucium keningnya tak henti-henti.

Seusai aku sholat. Meski masih dalam isaknya, istriku terlihat mulai tenang. Mungkin kemarahannya benar-benar habis. Mungkin juga sedang insropeksi diri. Bukankah memang tidak bijak jika membangun kesimpulan hanya dengan rasa?

Disisi lain, hatiku terus dan tak henti bertanya, mimpikah perempuanku ini, atau aku yang mimpi lalu mengigau? Setajam itukah firasat seorang istri?

Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 dinihari. Aku kembali menyempurnakan sholat malamku dengan witir Dalam doaku kutumpahkan semua sesak dadaku pada-Nya. Kutepis semua rasa malu-maluku lantaran selama ini jarang aku berdoa.

Ya Rabb, begitu banyak sudah dosaku selama ini. Ampunkan ya Allah. Bimbinglah, berikan petunjuk-Mu ….. Sungguh hatiku nestapa, ya Rabb……

Ya Allah, jika hati ini tiba-tiba saja tercolek oleh keanggunan perempuan lain, berdosakah aku?? Bukankah aku telah berusaha untuk melawan rasa itu? Bukankah rasa itu datangnya dari-Mu jua? Ya Allah beri aku petunjuk, kumohon padamu, jangan jadikan reuniku ini bencana! Jadikan ia berkah!!

Aku berdoa penuh khusyuk, mataku basah oleh tetes-tetes air yang tiba-tiba saja mengalir tak terbendung. Tumpahlah. Mengalir sajalah. Sungguh memang sudah lama baru kurasakan lagi kehangatan tetes-tetes seperti ini.

Azan subuh berkumandang. Kulihat istriku juga telah siap untuk sholat. Kami lalu melaksanakan sholat berdua, berdoa cukup lama, kemudian berpelukan penuh rindu.

*******

Keesokan harinya, suasana dalam rumah kembali normal seperti hari-hari biasanya. Bahkan hubungan kami semakin mesra rasanya. Tetapi sekali lagi diluar dugaanku, saat aku terbangun hendak melaksanakan sholat lail malam berikutnya, kejadian malam sebelumnya terulang lagi. Kudapati kembali istriku sedang menagis hebat. Lidahku kini kelu, logikaku buntu, dan sepertinya nuraniku sedang didebat oleh nurani yang lain. Dualisme nurani sedang melandaku. Semua benar dalam persepsi dan perspektifnya masing-masing. Aku mungkin bersalah. Ya! Tetapi sesungguhnya belumlah sejauh itu ku terjatuh. Semua masih dalam batas qodrat dan manusiawiku. Tapi istriku, masyaa Allah?? Hatiku sungguh menjerit.

Aku hanyalah lelaki lelah yang sesaat ingin bersantai di ketiak waktu. Tidak lebih. Karena aku tahu.

Aku hanyalah lelaki yang kau pilih dan memilihmu. Pengantin kita pengantin pilihan……

“Sayang!! Apa yang membuatmu begitu pilu?”

“Benarbenar pembohong kamu, Pa!! Tiba-tiba suaranya menggelegar pecahkan malam.
“Katamu Novel padahal tulisan itu adalah luapan emosi hatimu. Aku telah membaca semuanya. Terus terang saja. Hatimu memang tak dirumah ini lagi. Pergiii!! Pergi!!”

Astaghfirullah. Tersadar aku kini dengan kejadian tadi siang. Inilah kenapa istriku begitu mesra dan terus membujuk-bujukku mengajarinya menggunakan blackberry. Sungguh tak ada kecurigaanku sama sekali. Bukankah selama ini istriku tak pernah peduli dengan dunia sosmed?

Yang kutahu, istriku seorang guru, setiap hari ke sekolah, mengajar, dan setelah itu mengurusi segala tetek bengek anak-anaknya. Tak pernah lebih dari itu. Istriku gaptek. Begitulah kesimpulanku. Sungguh diluar kalkulasiku akan rencananya. Kubiarkan saja semua dokumen tetap tersaving disana. Apa boleh buat, malapetaka terjadi sudah.

Semalaman pasti dia tidak tidur dan telah melihat semua isi dokumen smartphone itu. Obrolan bbm, foto, puisi, cerpen, percakapan, bahkan beberapa rekaman suara perempuan itu. Aku menyerah. Tak bisa kumengelak lagi.

Dan diatas dari seluruh kebodohan yang pernah ada dalam sejarah laki-laki, aku mengakuinya. Aku berterus terang bahwa aku memang merindukan wanita lain itu. Aku berfikir, bahwa dengan keterus teranganku tentangnya, istriku bisa memaafkanku. Tetapi??

“Tidak!! Aku tak lagi percaya padamu. Kau telah menghianati keagungan ikrar suci kita, sumpah kesetiaan aqad nikah kita. Berani kau bersumpah atas nama Allah?? Berani?? Kamu tidak berani, kan?? Istriku terus berteriak-teriak. Matanya menyala-nyala.

Sumpah atas nama Allah??

Ya ampun, tentu saja aku tak berani kalau sumpah itu mengenai pembelotan rasaku saat ini. Bukankah wanita lain itu memang sedang ada mengisi bagian lain sisi hatiku. Benar, aku merindukanya. Demikian batinku.

“Brruaak!!” Sebuah kursi melayang nyaris menimpa wajahku. Tanganku sempat tergores.

“Urusi anak-anakmu!! Ceraikan Aku besok!!”

Mendengar kalimat itu, nafasku seolah berhenti. Aku tahu betul karakter perempuan minang yang telah bersamaku belasan tahun itu. Dia tidak main-main.

Kini aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ternyata hidup berumah tangga belasan tahun tak juga membuatku faham sejatinya wanita. Wanita memang tidak layak dijujuri.

Ku akui aku bersalah, tetapi didasar hatiku juga tersimpan kecewa. Benarkah kejujuran tidak lagi punya arti? Benarkah sejatinya wanita memang harus dibohongi??

“Duhai perempuanku! Tidakkah kau yakini lagi apa yang sejak dulu telah kau yakini dan kau buktikan?

Cintaku bukanlah kau melihat fatamorgana, sayang. Cintaku adalah kau sedang berenang di telaga bening nan dalam itu. Cintaku adalah awan putih yang sedang kau terbangi. Kamu hanya lelah seperti aku lelah”

Bukan kita yang menghapus dan menetapkan apa yang Dia Kehendaki. Cinta kita tak mampu menjangkau Lauhun Mahfuzh.

Kaukah yang memilih dilahirkan sebagai perempuan?? Bukan. Sebagaimana juga tak pernah aku memilih dilahirkan sebagai laki-laki.

Saat kau melihatku dan kau jatuh hati padaku, kaukah yang memilih?? Begitulah pulalah denganku”

“Aku tak pernah merekayasa hatiku untuk jatuh. Tenangkan dululah hatimu, sayang…” Sekali lagi berusaha ku membujuknya.

“Tetapi kau suamiku. Bahwa ragamu, bahwa kau milikku..bahwa kau menafkahiku lahir batin, itu tak kupungkiri. Tetapi seharusnyalah aku juga memiliki hatimu. Karena kaulah aku ada disini. Karena kaulah semua keindahanku kutinggalkan. Aku tak rela kau bebagi” Nada suaranya kembali tinggi. Tetapi dibalik itu, kurasakan betapa terpukul hatinya. Ribuan duka telah kami lewati bersama, tetapi aku belum pernah melihatnnya berduka seduka sekarang ini. Nampak sekali kesesdihan itu diwajahnya. Memelas seperti perempuan muda yang baru saja ditinggal mati suaminya.

Duhai istriku……

Dan langit telah di tinggikanNya dan Dia ciptakan keseimbangan agar kamu tidak merubah keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kau merubah keseimbangan itu (55.7-9)

Milik-Nyalah kapal-kapal yang berlayar dilautan bagai gunung-gunung. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (55.24-25)

Ketahuilah, sayang…………….

Cinta itu langit. Dan kita hanyalah seperti kapal-kapal itu.

Bukankah Tuhan telah membiarkan dua laut yang mengalir yang keduannya lalu bertemu sedang

diantara keduanya ada batas-batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing??

Begitulah sepenggal kisah yang sedang kau cemburui ini, sayang. Tidak Lebih!

“Sudahlah. Cinta yang kita bahas ini bukanlah kekekalan. Semua dibumi ini akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (55.26-28)”

Entah aku bicara apa barusan, semua mengalir begitu saja. Mungkin karena sedemikian tak kusangkanya fakkta pahit ini bisa terjadi. Apalagi hanya karena kecerobahan sepele, blackberry.

Hatiku kian bimbang. Hanya karena semata bodohnya akukah atau karena wanita seperti istriku ini memang tak layak disandingkan dengan wanita lain?? Bahkan nuraniku pun tak lagi punya jawaban.

********

Dua kali 24 jam kami tak bertegur sapa. Diam. Dia marah atau mungkin sedang instropeksi. Dua hari sudah aku hanya berdiam dirumah, menemani anak-anakku bermain. Aku tidak bisa kemana-mana, pun tak lagi bisa sharing dengan teman-temanku melalui BBM atau facebook. Dompet dan Blackbarryku entah dimana dan bagaimana. Tak apalah, hanya sebuah konsekwensi kecil dari sebuah kekhilafan besar.

Dini hari berikutnya, kembali ku terbangun dan memohon pada-Nya.

“Ya Allah, segala rasa, segala cipta, segala punya

Aku tersungkur diatas sajadah ini

ingin kutiadakan segala batas yang membelenggu

Ya Allah, hambamu benar-benar membutuhkan pertolonganmu

Ya Allah! Andaikan mungkin……….

Aku ingin agar diriku Engkau lebur saja ke dalam cahaya-Mu

Biar saja aku lenyap……………..”

Usai kuberdoa, ketika mataku tak lagi terpejam, kulihat dihadapanku sesosok perempuan yang sangat kusayangi itu telah bersimpuh, meraih dan mencium tanganku. Alhamdulillah ya Allah, demikian maha penyayangnya Engkau.

Tanpa fikir lagi, segera kudekapnya………

“Ucapkan seluruh sesak dadamu, sayang! Lafaz itu penting!”

“Aku minta maaf, Pa! Asal kamu tahu saja, detik ketika kita menikah 13 tahun lalu, aku sudah bersumpah untuk menyerahkan keseluruhanku untuk kau miliki sepenuhnya, seutuhnya”

“Disitulah kelirunya kamu memaknai cinta, sayangku. Aku bukanlah milikmu dan kamu juga bukan milikku. Kita adalah Milik-Nya. Dialah satu-satunya yang memiliki hak apa saja atas kita”

Ucapan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutku, seperti ada yang membimbing.

Kuseka tetes-tetes bening dimatanya dengan mukena yang dipakainya, kutatap lekat, kutelusuri terus labirin matanya, kurasakan betapa rindu sedang menggulung disana. Rindu yang laksana ombak berkejaran-kejaran menuju pantai.

Kubimbing dia menuju kamar, kunyalakan lampu remang, kusetel music Kenny G, sayup-sayup symfoninya mengalun, mendayu seperti dayu jerit tertahan perawan suci dimalam pertamanya.

Dan seperti seorang pengembara yang melihat telaga di gurun pasir, kutenggelamkan seluruh tubuhku. Menyelam-nyelam hingga ke dasarnya.

“Oh, kemarilah sayang. Kau milikku dan aku memang milikmu………….”

Keesokan paginya, kulihat sesungging senyum sumringah terbersit diwajahnya. Senyum kemenangan, senyum kebahagiaan.

Tanganku masih melingkar ditubuhnya, kukecup pelan daun telinganya, kubisikikkan sebuah kalimat

“Maa..Pinjam BlackBarry dong”

Secepat kilat dia menepis tanganku. Berdiri dan memasang dasternya.

“Maaf , sejak hari ini aku tak percaya lagi padamu” Tegas sekali kalimatnya.


Ponrewaru, 21 January 2014 | 21:2634 00

Tidak ada komentar: