Jumat, 20 Februari 2015

JURNAL CINTA JANUARI

Aku menerawang. Kau tahu apa yang sedang kuingat??

Malam tahun baru Januari 1998, kuucap cinta pertama kali padamu.

“Selamat tahun baru, dan aku mau bilang, AKU CINTA PADAMU”

Sekilas kau menatapku lekat, tanpa kata, tanpa ekspresi. Aku tak peduli, tetapi sejak itu kita dekat, dan hatiku terus berbunga-bunga.

Mei 1998, disela gempita demonstrasi reformasi, aku bertanya padamu. Ingin kudengar kata tegasmu.

“Bagaimana dengan kata cinta yang pernah kuucap??”.

“Cinta apa, kepada siapa?” Kau justru balik bertanya.

“Lho?? Aku cinta padamu, bukankah dengan tegas kukatakan itu di malam tahun baru??”

“Demi Allah, aku tak mendengarnya. Suara terompet dan petasan terlalu bingar malam itu”

“Lalu kedekatan ini kau anggap apa selama ini??”

“Seperti saudara. Tak lebih”. Katamu.

Alamak!! Aku kaget bukan main. Rupanya kau tak mendengar kalimat sakralku malam itu.

……..Aku terdiam, udara Jogja tiba-tiba terasa gerah bukan main……..

“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih kau telah baik padaku”. Egoku serasa kau tampar.

Sebagai laki-laki Bugis, serindu-rinduku padamu, pantang diriku terlihat rapuh. Aku hendak beranjak, tetapi kau menahanku. Air matamu pun mulai mengalir. Tahukah kau rasaku waktu itu?? Ibarat pengembara tersesat, air matamu kulihat laksana mata air di tengah terik gurun.

“Kenapa kau menangis??” Kau diam cukup lama, dadamu berguncang, dan kurasa kau sedang bertarung dengan rindu yang menggulungmu.

“Sungguh aku pun inginkanmu, berharap kau selalu ada bersamaku, tetapi…..”

“Tetapi apa??”

“Aku takut sungguh aku takut”

“Kenapa??”

“Semua bilang kamu adalah lelaki bajingan”

“Itu urusan mereka. Menurutmu sendiri!?”

“Bajingan juga manusia, dan setiap manusia punya hati. Benar begitu, bukan??” Tatapmu menembus sukmaku.

“Pasti, dan itu yang ingin kubilang padamu. Tahukah kau bahwa kerinduanku pada wanita kali ini membuatku pula terseret pada kerinduan yang pada-Nya, dan wanita itu adalah kamu??”

Terpaksa kupaksa kau meyakiniku. Dan kau memang mengangguk lalu tengadah.

“Aku pegang kata-katamu, pegang pula kata-kataku. Kutunggu kuliahmu selesai, aku janji akan mendampingi hidupmu sepanjang hayat”.

Waktu terus berjalan, liku nasib tak ada yang tahu. Januari 1999, hubungan kita putus. Kau pulang ke tanah Minang kampungmu, aku pulang ke tanah Bugis, kampungku. Selamat tinggal Yogyakarta. Kota yang manisnya tak terlukis oleh kata.

Hari berganti, bulan berlalu, tak lagi ada kabar darimu, pun dariku. Hatiku gundah, hari-hariku hanyalah sepi dan kehampaan. Benar, rezeki, jodoh dan ajal, Allah yang atur. Mimpi itu tinggal kenangan.

Tetapi atas kehendak siapa pulakah ketika tiba-tiba kembali terjalin warta antara kita dijelang abad millennium itu??

Januari Tahun 2000. Didepan penghulu dan mereka yang dicinta dan mencintai kita, bersaksi langit-langit Al-Markaz, kuucaplah hakikinya aksara cinta, Ijab Kabul.

Aku sepenuhnya, kau sepenuhnya, telah hilang lalu lebur menjadi KITA. Sejak itu, persetubuhan jiwa, pun persejiwaan tubuh kita dimulai. Hari-hari kita pun menjadi suka, tawa dan bahagia. Kita memang telah sepakat untuk tidak menangis, bukan??

Tetapi kenapa masih juga kerap kudapati kau menagis, sayang??

********

Januari 2013, kembali kau bertanya padaku.

“Cinta apa, kenapa, cinta pada siapa??”

“Aku cinta padamu. Bukankah dengan tegas telah kukatakan itu 13 tahun lalu??”

“Tidak!! Kini kembali kuragukanmu, nyatanya kau memang seorang bajingan………..” Makimu disela isak tangismu.

Berhari-hari, berbulan-bulan tak pernah kujawabnya. Dan memang tak perlu kujawab. Bukankah kata cukup sekali terlafaz, dan aku telah melafazkannya???

******

Dinihari, Januari 2014, sesaat ketika Desember baru saja pergi, aku ingin mengatakannya. Ingin kujawab pertanyaan tentang cinta tahun lalumu itu.

“Sssttt….” Tetapi tiba-tiba kau letakkan telunjukmu dibibirku. Kau kedipkan sebelah matamu, dan tentu saja kufaham maksudmu.

“Matikan saja lampu itu biarkan gelap, biar hanya bunyi nafas kita yang terdengar, biar saja tetes embun pagi cemburu”.

“Ssssst, jangan disini sayang, nanti anak-anak kita terbangun”.

Hawa dingin menyusup menembus pori-pori. Lantunan ayat-ayat suci dari masjid di sekeliling rumah kita pun mulai berdendang bertalu-talu. Waktu shubuh sebentar lagi akan tiba.

Dan…………Tubuhku tubuhmu, nafasku nafasmu, masih saja lebur jadi satu. Lenyap, senyap………

Amboi, indah nian hidup ini.

“Ya Allah, Tuhan pemilik segala cinta. Lindungi dan ridhoi cinta kami selalu”

*********

Ah, istriku, sungguh aku sedang rindu!!
Selamat, untuk 14 Tahun kesabaranmu.



Pangkep, 20 January 2014


Tidak ada komentar: