Jumat, 20 Februari 2015

Juwita, In Memoriam of Candu

Tiba-tiba ingin sekali kumenulis. Pasti tentangmu, melibatkanku juga, atau lebih luasnya tentang kehidupan. Bukankah kamu adalah kehidupan? Kehidupanku. Setidaknya kamu pernah ada dan hadir dikehidupanku. Apakah karena kita tak lagi ada dalam sebuah persinggungan kehidupan lalu tiba-tiba tak lagi kuanggapmu ada? Tidak. Pasti tidak.

Bahkan kini aku ada paling depan diantara kerumunan orang yang berdoa dan menangis untukmu.

Kau tahu? Perjumpaan kita adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Perjumpaan yang sejak awal sepenuhnya kusadar bahwa segala sesuatu memang kembali berakhir, pasti getir dan bakal meninggalkan jejak sepi rindu yang panjang, tapi aku tak pernah merasa bahwa mengenalmu adalah luka yang harus kutangisi.

Benar katamu. Hidup adalah wadah untuk belajar setiap waktu. Ya, aku memang terus belajar. Belajar dari semua rentetan peristiwa yang sambung menyambung tanpa pernah kurencanakan ini.

Belajar dari betapa kehadiran sesaatmu itu telah memporak-poranda hatiku sedemikian rupa. Kehadiranmu yang memang seharusnya membuatku kian tegar, kokoh bagai karang dihempas gelombang.

Tapi tidak, kau bukan sekedar ombak. Kau benar-benar meluluh lantak hatiku. Atau jika kau ombak, aku ternyata bukanlah karang. Aku rapuh. Aku tak setegar dan sekokoh yang kau duga. Mungkin hanya terlihat seperti kokoh dan tegar.

Ah, betapa indah ketika di malam amal itu kau bacakan puisimu.

“Puisi ini adalah karyaku sendiri, ingin kupersembahkan pada siapa yang damba mendamba” Prolog pendekmu.

Kaupun membacakannya dengan gaya santai namun penuh dengan penghayatan. Kata-katamu tidaklah terlalu puitis, tetapi terlihat sekali bahwa kalimat-kalimatmu adalah janin kata yang lahir dari kedalaman rahim hatimu.


CINTA DIAM

Saya mencintaimu diam-diam.
Kamu tidak akan tahu karena memang tak perlu kamu tahu.
Cinta adalah soal rasa seperti halnya rasa lain; benci, rindu, marah, senang, dan seterusnya.

Cinta itu tinggi, bahkan sangat tinggi kedudukannya.
Cinta adalah anugrah pertama Tuhan dalam kehidupan ini.
Adam, moyang kita, tahu pasti hal itu.

Cintalah yang membuatnya ada dan untuk itu diciptakan sorga sebagai istana tempat dia mengekspresikan seluruh rasa-rasanya, termasuk cintanya.

Rindu pada kehadiran seorang wanita sebagai pelengkap dari rasa tak utuhnya adalah manifestasi cinta-Nya jua. Diciptakanlah Hawa sebagai tempat dimana ia dapat menumpahkan rasa tak utuhnya itu……….

Cinta itu tinggi kedudukannya.
Sayangnya ia tak bisa berdiri sendiri, ia tak cukup kuat untuk tidak tidak didampingi oleh rasa yang lain seperti rindu, marah, cemburu, sedih, senang dan seterusnya.

Apakah karena rindu, marah, cemburu, sedih dan senangku engkau tak pernah bisa yakinkan dirimu bahwa sesungguhnya aku mencintaimu???

Apakah karena rindu, marah, cemburu, sedih dan senangmu itu juga sehingga kamu seolah survive dalam kegamanganmu???

Ah, Aku tak akan pernah memberi tahumu, dan memang tak perlu kamu tahu.

Biar saja semua berjalan tanpa ada yang tahu.

Karena aku sungguh-sungguh mencintaimu.

Mencintaimu secara diam-diam.

“Terima kasih”

“Puisinya buat siapa tuh, Mbak?? Betapa berbahagianya lelaki itu”
Belum juga kamu sempat duduk, telah kukirim sms ku.

“Dengar aja nanti MC-nya bilang apa?” balasmu
“Hadirin !! Ada sesuatu yang terlupa oleh pembawa puisi tadi. Kepada siapakah ditujukan puisi itu? Tak ada sebuah nama, bukan? Tetapi hadirin! Kita akan segera mengetahuinya. Menurutnya, puisi itu ditujukan kepada siapa saja yang pertamakali bertanya tentangnya. Dan untuk itu, kita akan periksa hand phone mbak Juwita. Benarkah ada yang bertanya??”

Dengan gaya jenaka, sang MC pun menghipnot para pengunjung sambil berjalan menuju kursi tempatmu berada.

Aku segera memandang ke arahmu. Sekilas kita pun beradu pandang, dan kau senyum-senyum tersipu.

“Hadirin!! Adapun lelaki beruntung itu adalaah.....??”

Sang MC baru saja akan menyebutkan namanya, tetapi tiba-tiba kamu berdiri meminta microphone, berjalan menuju panggung lalu menggantikan posisi sang MC.

“Hadirin! Jujur saja, malam ini seorang lelaki bertanya padaku, Puisinya buat siapa tuh?? Betapa berbahagianya lelaki itu?”

Kaimatmu sambil membuka dan mengangkat handphonemu menghadapkannya kepada para hadirin.

“Tetapi oleh karena puisi tadi adalah puisi cinta diam, maka demi untuk tidak keluar dari konteks ke-diam-annya, dengan berat hati terpaksa tak dapat kusebutkan namanya. Tetapi satu hal, kuharap lelaki itu benar-benar berbahagia, seperti katanya sendiri”

Suara tepuk tangan menggelagar memenuhi gedung kesenian itu. Dengan anggun kau pun melangkah turun sambil menyalami uluran jabat tangan beberapa pengunjung. Sungguh aku terpesona melihatmu.

Ah, mbak Juwita, menurutku kamulah gadis paling beruntung di kota ini. Cantik, kulit putih, hidung mancung, tinggi 167, berat 57, dosen muda, gemar mendaki gunung, kolumnis di beberapa koran, serta digilai oleh banyak lelaki ganteng dan mapan. Tetapi kenapa kamu masih saja sendiri? Aku terus memikirkanmu.

Bagaimana aku tak mengenalmu luar dan dalam? Ayahmu dan ibuku masih saudara. Bahkan aku menjadi lelaki ganteng begini, itu juga berkah dari ASI ibumu. Di keluarga kita semua tahu bahwa kita adalah saudara.

Aku memanggilmu mbak, karena usiaku 2 tahun lebih muda darimu. Tapi tahukah kamu bahwa hingga diusiaku yang sudah 24 ini belum juga mengagumi seorang wanita pun selain dirimu? Ah mbak Juwita! Bagamana ini?? Aku sangat menghormatimu, tetapi aku juga merindukanmu.


“Kok tidak sebut nama sih, Mbak?” Kembali kubertanya via sms.

“Cinta adalah hal yang sulit disembunyikan. Meski begitu, Ia akan lebih indah jika tidak terkatakan tetapi mampu terfahami dengan baik” Balasmu.

Acara pun usai, sungguh aku bersyukur kamu tak langsung pulang. Kudekati, dan aku langsung duduk disampingmu. Kira-kira dua meter dari kita, Mbak Yuli dan Tante Nola juga masih asyik mengobrol.

“Ini semua maksudnya apa, mbak?” Renggekku penasaran.

Hanya senyummu renyah. Nampak gigimu yang berbaris putih disela bibirmu yang ranum bak delima itu.

“Hmm…ceritanya panjang, Ndrong. Kalau kuurai semuanya, kamu bisa menulisnya menjadi beberapa novel” Jawabmu kalem.


Kamu lebih suka memanggilku Ndrong. Rambutku memang gonrong. Kalau duduk bersama Anggun C. Casmi, lalu orang melihatnya dari belakang, pasti memang dikira pinang dibelah dua.

“Tapi gerak hati, selain harus terimplementasikan dengan laku, ia juga harus terlafadzkan toh, mbak?” Desakku lagi.

“Kau meminta mbakmu melafadskannya, Ndrong?

Subhanallah, tiba-tiba matamu bagai embun pada dedaunan saat matahari beranjak naik. Air yang tak jadi menetes karena menguap lalu berkumpul bersama awan. Pernyataanmu barusan, sungguh menjadi pertanyaan yang menari-nari dibenakku.

“Alamak, apa maksud dari pertanyaanmu itu? Hatiku berbunga. Benarkah puisimu itu untukku?” Batinku
“Dalam hidup ini memang kerap kali kita menjumpai hal-hal diluar dari apa yang semestinya. Tapi apapun itu, hidup ini harus disyukuri” Desahmu kemudian.

“Betul, ketika kita berbuat baik, tulus, ikhlas, sebenarnya Allah Yang Maha Rahman Rahim itu seolah membebani dirinya dengan kebaikan kita. Dia seolah berhutang ke kita, begitu kan, mbak?”

Aku kembali mengulang perkataanmu sendiri yang dulu pernah kau bilang padaku.

“Dan bayangin aja kalau Tuhan yang melunasi hutang nya, Ndrong”

“Tentu bukan cara biasa kan?”

“Maka itu kenapa mbak memilih mencintainya sepenuh jiwa, tapi dengan diam”

“Sungguh tak perlu terlafadskan, Mbak?” Desakku sekali lagi.

Kamu tak lagi menjawabnya. Tiba-tiba pandanganmu kosong. Aku lalu berdiri meninggalkanmu menuju toilet. Tak tega kumelihat matamu hampa seperti itu.

Duhai Juwita, sesungguhnya aku teramat merindukanmu, menginginkanmu. Tetapi sekali lagi, kamu adalah mbakku. Apa mungkin?” Batinku terus bergejolak.

“Ndrong, Memang hati itu kodratnya bolak balik, juga karena cinta Tuhan bisa dalam bentuk ujian, termasuk ketika kamu pun tak mampu melafadskannya” Katamu lagi. Dan itu benar-benar membuat lidahku kaku. Sungguh tak kuasa lagi kuberkata-kata.

Malam itu rasa-rasanya nya aku seperti sedang menemukan seorang gadis belasan tahun. Gadis kecil yg bersembunyi pada ketiak waktu yang mungkin sedang patah hati ditinggal kekasih, mungkin dia yatim, atau mungkin sedang lari dari rumahnya. Betapa aku iba dan ingin mencium keningnya, atau sekedar memberinya selimut ketika ia tidur.

“Balik yuk, Wit! Kamu anterin mbakmu ya, Ndrong!”

Tiba-tiba tante Nola dan mbak Yuli telah berdiri didepan kita mengajak pulang. Mereka pasti tidak tahu bahwa dua anak manusia didepannya ini sedang resah melawan rasanya masing-masing.

Dua sahabatmu itu kemudian meninggalkan gedung dan berjalan menuju mobil mereka masing-masing. Kita pun ikut beranjak.

“Mobilnya diparkir dimana, Mbak””

“Disana tuh, depan Kantor Pos Besar”

Kita pun lalu berjalan beriring. Tanganmu menuntun tanganku. Duh, rasanya kita benar-benar seperti sepasang kekasih.

“Kehidupan ini seperti lalu lintas, Ndrong. Kita hanyalah seorang pengendara yang berkelana di jalan iti. Pada gang-gang sempit, jalan raya, trotoar atau mungkin pada pematang sawah. Apakah kita akan melalui jalan raya, lorong atau pematang sawah, apakah pada perempatan jalan raya itu kita akan kekanan, kiri, lurus, melanggar lampu merah atau apa, kitalah yang memilih. Hidup itu pilihan!” Katamu sambil terus menggegngam tanganku.

“Tetapi, semua telah tertulis di langit sana, bukan??” Sambungku

“Hehehe, Iya! Kadang-kadang memang kita bertemu razia polisi atau sesorang yang menyeberang tanpa tengok kekiri dan kekanan” Ujarmu penuh canda sembari dengan lembut mengaca-ngacak rambutku.

Kota Jogja malam itu sepi, angin sedikit kencang disertai hawa dingin. Rintik hujan pelan membasahi jalan. Saat melepas tanganmu ketika mesin telah kau nyalakan, hatiku berdebar-debar, tiba-tiba rasa was-was memenuhi seluruh batinku. Malam minggu menjelang pagi begini, jalan utama menuju rumahmu ramai oleh balapan liar. Tiba-tiba aku takut sesuatu terjadi padamu.

Kau tahu? Betapa enggan kumelepasmu berjalan sendiri. Sebenarnya ingin sekali aku berjalan mengiringimu. Tetapi aku terlanjur berjanji untuk menjemput seseorang di bandara. Seorang gadis yang belakangan ini cukup dekat denganku. Gadis itu adalah Eda yang menurutmu dia itu baik buatku.

Duhai, betapa inginnya ku kecup keningmu malam itu. Betapa inginku kau rasa ketulusan hati ini mengagumimu. Betapa inginnya ku hadir temanimu dalam tidur lelapmu.

“Hati-hati nyetirnya, mbak” Hanya itu yang kukatakan.
“Iya, kamu juga jaga diri baik-baik, Jangan terlalu banyak begadang, kurangi merokok. Sampai jumpa, ya!” Nadamu tetap ceria, tetapi matamu sayu. Itulah kalimat terakhirmu.
Di pagi buta tak lama setelah pertemuan itu, ketika baru saja kami keluar dari pintu gerbang bandara menuju kota, tiba-tiba tante Nola menelponku.

“Kamu ke rumah sakit sekarang. Doakan! Mbakmu kecelakaan”

Begitulah. Enam belas tahun telah berlalu. Masih jelas sekali kata-katamu. “Kehidupan itu seperti lalu lintas, Ndrong. Kita hanyalah seorang pengendara yang berkelana di jalan raya itu”.

Ya! Kita berencana, Tuhan pun berencana. Kebahagiaanku adalah mengenangmu. Mengenang kebersamaan ajaib kita yang hari ini tinggallah air mata yang memata air didasar gundukan tanah gersang.

Inilah kisahmu, tepatnya kisah kita. Kisah yang selalu segar seperti segarnya bunga-bunga yang baru saja kutabur diatas kedua nisan ini.

Selamat Jalan, sayang….

Sungguh aku rindu ingin menemuimu.

Di setiap purnama, membaca sms ini di depan pusaramu, sungguh telah menjadi candu bagiku.

“Mbak mencintaimu. Teramat merindukanmu…..

Juwita 10 Mei 02.17” (Malam itu, SMS Terakhirmu)



Pangkep, 10 October 2014 | 03:3467 44

Tidak ada komentar: