Minggu, 22 Februari 2015

CINTAKU ORDE BARU




Namaku Anita. Umurku 39 Tahun, tinggal di kota Bogor. Alhamdulillah saya dikaruniahi rumah tangga yang bahagia. Saya sangat bahagia dan nyaris tak kekurangan apapun. Dalam segala hal, saya dan suamiku selalu saling jujur dan terbuka. Satu-satunya yang sampai hari ini belum bisa saya jujur padanya adalah bahwa saya diam-diam masih mencintai seorang lak-laki lain. Saya masih sangat merindukannya. Hingga suatu masa……………

Ceritanya begini:

Saya dan laki-laki lain yang saya maksud itu adalah sama-sama jurnalis kampus pada kampus kami masing-masing. Dinamika pergerakan mahasiswa menggiring kami saling kenal. Kami lalu saling jatuh hati. Sangat saling cinta. Namun karena suatu keadaan yang tidak memungkinkan, tiba-tiba saja kami berpisah dan kurang lebih 15 tahun tak pernah lagi ada kabar berita.

Kami berpisah tak lama setelah terpilihnya kembali pak Harto pada pemilu 1997.

Pasca reformasi, Tahun 1999 saya masih sempat membaca sebuah tulisan cerpennya di sebuah koran harian Jakarta. Cerpen itu bercerita tentang kisah cinta kami yang amat rumit akibat situasi pergerakan mahasiswa di Jogja kala itu.

Dia lelaki tampan, aktivis sejati. Seorang Idealis tulen. Namanya Abraham, kupanggil dia Mas Bram.

Suatu hari saya bermaksud berkunjung kerumah ayah di sebuah desa yang cukup jauh dari kotaku. Jika perjalanan lancar biasanya jarak tempuh dari kotaku ke desa itu membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam. Dalam perjalanan ini, bus yang kutumpangi terpaksa jalan memutar karena jalan poros yang biasa dilaluinya terhadang oleh demo besar-besaran. Dimana-mana mahasiswa menuntut pembatalan kenaikan bbm.

Masya Allah, setelah satu jam lebih perjalanan, betapa bergetarnya hatiku ketika bus itu melewati sebuah rumah tua yang masih begitu akrab dalam kenanganku. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Ya! Tidak salah lagi itu adalah rumah orang tua Mas Bram. Lelaki yang bertahun-tahun pernah bersamaku dalam suka dan duka.

“Pak, pak! Saya turun disini saja”.

Tanpa fikir panjang tiba-tiba saja saya meminta pak sopir untuk berhenti.

Didepan pintu rumah tua itu, beberapa menit saya sempat mematung. Sekilas terbayang wajah teduh suami dan canda tawa anak-anakku dirumah. Ya Allah! Bimbing dan lindungi hambamu ini!

Saya lalu mengetuk pintu beberapa kali.

“Assalamu alaikum, assalamu alaikum!!

Seorang ibu tua lalu muncul membuka pintu. Diamatinya sekujur tubuhku sambil keningnya berkerut. Mungkin mencoba mengingat-ingatku.

“Ka..ka..mu Anita??

“Iya bu, saya Nita” Langsung saja kuraih tangan ibu tua itu, kucium, dan kupeluk. Air mataku tak terbendung. Sungguh kuharu rasanya dengan pertemuan ini. Belasan tahun lalu, baru kali ini lagi bisa berjumpa. Ibu tua ini, serasa seperti dengan ibu kandungku. Kasih sayangnya padaku tak bedanya seperti pada anaknya sendiri.

Lama saya hanya terdiam. Lidahku benar-benar kaku. Air mataku juga tak henti menganak sungai. Kenangan itu satu demi satu berloncatan seperti baru kemarin sore saja rasanya.

“Dia masih seperti dulu, di kepalanya hanya negara dan negara. Dia tidak mau menikah. Waktu ibu desak, katanya dia tidak mau menikah karena sudah pernah janji sama kamu, Dia masih menunggumu, Nak!” Ibu Mas Bram yang mulai bicara.

Tubuhku lunglai. Saya tahu betul bagaimana komitnya lelaki itu jika telah berjanji. Andai bisa, sungguh ingin rasanya kuputar waktu. Di kursi kayu antik tempat ibunya duduk saat ini, disitulah dulu Mas Bram selalu duduk sembari membakar semangatku dengan fatwa-fatwa pergerakannya.

“Dik! Saya kurang setuju dengan pola Amin Rais. Reformasi terlalu lambat!” Katanya penuh semangat.

“Tapi yang dilakukan Bang Bintang itu juga konyol, Mas. Soeharto terlalu kuat, Nita takut Mas! Tulisan-tulisanmu di media sudah terlalu garang. Nita tidak mau Mas Bram bernasib sama dengan anak-anak PRD itu, entah bagaimana nasib mereka kini. Mungkin sudah mati”

Nadaku memelas. Saya benar-benar merasa cemas jika nasib naas sewaktu-waktu akan menimpa lelaki yang sangat kusayangi itu.

“Hehe, mati katamu? Diculik atau tidak, itu hanya soal nasib buruk dan baik. Semua telah tertulis dilangit sana, bukan?” Suara mas Bram santai tapi tegas.

“Ketahuilah dik! Pergerakan tidak akan pernah mati. Ia akan selalu tumbuh di setiap tirani, sebab yang menggerakkannya adalah nur, cahaya dari langit. Lanjutkan tulisanmu itu dik, kita memang tidak bisa hanya mengandalkan mahasiswa. Seluruh elemen rakyat harus di gerakkan!” Lanjutnya.

Mas Bram bukannya berfikir dengan kata-kataku barusan. Adrenalinnya malah terpicu dan justru semakin menyemangatiku. Saya memang sedang menulis tentang pentingnya petani dan buruh mengorganisir diri. Tulisan itu sekaligus adalah skripsiku yang rencananya akan kuseminarkan tak lama lagi.

“Iya, saya faham mas, tapi kita juga harus memikirkan masa depan kita. Kamu kini jadi target utama. Tulisan-tulisanmu telah dianggap sebagai tindakan subversib! Saya sungguh takut kamu juga akan di bunuh!” Sekali lagi kuutarakan kekhawatiranku.

“Dik, lihat mataku. Percayalah! aku tidak akan mati sebelum rezim keparat ini tumbang! Dan dengarlah sumpahku untukmu. Demi Allah, aku tidak akan pernah menikah kecuali denganmu. Tetapi akupun tidak akan meminangmu sebelum perjuangan ini berhasil. Bersabarlah! Target kita 1998 sudah tak lama lagi.

Ya Allah, semuanya masih sangat jelas. Kubayangkan mata bulat Mas Bram menyala-nyala. Tak pernah kulihat sedikitpun rasa takut dimatanya. Aku sangat merindukannya. Sungguh tak kuasa lagi kumenahannya. Bagaimana ini?

“Ayo diminum dulu nak!” Sacangkir teh hangat yang disodorkan ibu Mas Bram menghentakku dari lamunan.

“Sudahlah, Nak! Masmu juga tidak pernah menyalahkanmu atas keputusan yang kamu ambil. Sedari kecil ibu sudah tanamkan padanya bahwa ajal, rezki dan jodoh itu bukan kuasa kita. Cintailah suamimu sepenuh jiwa. Dialah yang menurut Tuhan terbaik untukmu” Katanya.

Suaranya sedikit bergetar ketika mengucap kalimat-kalimat itu. Sungguh perih hati ini mendengarnya.

“Maafkan Nita, bu. Nita benar-benar tak tahu harus berbuat apa ketika orang tua Nita terus mendesakku segera menikah waktu itu. Mas Bram tak mungkin mau melakukan itu sebelum perjuangannya tercapai, bukan?”.

“Ibu mengerti, nak!” Lirihnya.

Tangannya yang mulai keriput tak henti mendekap tubuhku dan mengusap kepalaku. Sungguh kurasakan seperti belaian almarhumah ibuku ketika saya sedang gundah.

Tak terasa dua jam sudah saya mengobrol dengan ibu Mas Bram. Tepatnya bernostalgia. Jam sudah menunjuk angka empat lewat sepuluh menit. Tujuan perjalananku terpaksa kubatalkan.

Sekali lagi mataku manyapu seluruh ruang rumah tua itu. Tak ada yang berubah. Sebuah puisi yang dulu kutulis berdua dengan Mas Bram juga masih terpampang rapi dalam bingkai di sudut ruang tamu. Lama ku termangu. Rindu sungguh aku rindu.

“O ya bu, hari sudah sore. Nita harus segera pulang. Ini nomorku, tolong dikasih ke mas Bram jika suatu hari menelpon ibu” Secarik kertas kutitip padanya. Sekali lagi kupeluk dan kucium ibu itu.

“Nita sungguh menyayangi ibu. Assalamu alaikum” Tak lupa kuselipkan beberapa lembar uang kertas merah.

*******

Semenjak peristiwa itu, sedetik pun hampir tak pernah pikiranku meleset dari keseluruhan Mas Bram. Saya bisa merasakan betapa nelangsanya hidupnya selama ini. Hidup sendiri tanpa seorang wanita yang mendampinginya.

Sedang diriku? Seberusaha-berusahanya ku cintai suamiku sepenuh hati, tak dapat kupungkiri bahwa Mas Bram masih saja selalu ada disi hatiku yang lain.

Ah Tuhan, menjadi istri yang taat, patuh, setia, memberi pelayanan terbaik pada suami, Engkau telah melihatnya, bukan? Semua itu telah kulakukan semaksimal mungkin untuk Kak Mujib, suamiku.

Tapi Mas Bram, lelaki yang dingin., apa adanya, jujur, tegas, tak pernah bisa diam jika melihat kedzaliman, sebuah karakter yang sungguh kukagumi. Mas Bram seorang petarung, sedang kak Mujib lelaki sholeh yang lembut. Hampir tak ada sama sekali keburukan yang kutemukan dalam dirinya. Dia begitu santun dan pengertian. Ibadahnya bagus. Sungguh adalah sosok pengayom bagi biduk rumah tangganya.

Astaghfirullah, mengapa pula saya mulai membanding-bandingkan suamiku dengan lelaki lain?

Parahnya, beberapa bulan terakhir ini, perhatian dan kasih sayang suamiku padaku semakin hari semakin besar saja rasanya. Tanpa kuminta, segala sesuatu yang kusukai seringkali telah disiapkannya.

Tak lama berselang membeli untukku beberapa novel pergumulan ideologi kesukanku, Hari ini tiba-tiba suamiku memberikan lagi hadiah beberapa film dokumenter. Film-film mengenai beberapa revolusi besar dunia. Dia pun kini semakin romantis. Ada apa dengan perubahan suamiku?

Selama ini segala kebutuhan dan keinginanku memang selalu dipenuhinya, tetapi perhatian-perhatian seperti novel dan film itu nyaris tak penah dilakukannya.

“Wahai suamiku, terima kasih tak terhinggaku. Engkau semakin memahamiku saja. Maafkan istrimu yang belum bisa mencintaimu seutuhnya ini” Batinku terus bergolak. Ada sesak menghimpit dada. Betapa berdosa dan bersalahnya diriku. Seorang istri yang tidak bisa melupakan sosok lelaki lain dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

“Insya Allah, suatu hari cinta ini akan utuh untukmu, kak”. Begitu tekadku dalam hati.

******

Kurang lebih empat bulan sejak pertemuanku dengan ibunya. Mas Bram benar-benar menghubungiku. Hari ini adalah hari kelima setelah kami setiap hari berkomunikasi lagi.

“Kalau kau rindu padaku, aku pasti tahu itu seperti apa. Aku pun sungguh rindu berjumpa denganmu, bercanda, berbagi cerita, bahkan betapa inginku seperti dulu lagi.

Tapi, bila kau tanya cintakah kau padaku? Sungguh aku tak ingin kau bertanya begitu. Bagaimana mungkin sesuatu yang jelas telah kau tahu lalu kau pertanyakan lagi? Belum cukupkah aku membuktikannya?

Kau tahu? Aku takkan menyia-nyiakan sekecil apapun kesempatan untuk bersamamu lagi. Bahkan jika takdirku, kenapa tidak kau akan menjadi milikku. Tapi percayalah, Bram tetaplah seperti dulu. Lebih baik sakit daripada menyakiti. Aku tak mungkin menyakiti hati lelakimu, apalagi hatimu”

Subhanallah, sekali lagi kubaca bbm Mas Bram. Betapa sederhanya kalimat-kalimat itu. Tapi saya benar-benar percaya bahwa sedikitpun tak ada canda disitu. Mas Bram serius. Mas Bram sungguh-sungguh, dan Mas Bram selalu yakin dengan apa yang dikatakannya.

“Ya Allah, beri hamba petunjuk. Hamba benar-benar gamang” Disetiap sujudku, tak henti ku bermunajat pada-Nya.

Beruntung, hari ini ayahku datang mengunjungiku. Kebetulan sebentar sore suamiku juga berencana kerumah orang tuanya di luar kota. Mungkin karena itu ayahku datang. Suamiku memang kerap meminta ayah menemaniku jika dia harus menginap karena sebuah hajatan diluar kota.

Mendung menyelimuti kota Bogor. Nampaknya akan turun lagi hujan deras. Saya lalu membuat dua cangkir kopi. Satu untuk suamiku dan satunya lagi untuk ayah.

“Nita, kemarilah, Nak. Sesuatu yang amat penting ingin ayah sampaikan padamu” Sapa ayah pagi itu.

Tumben, ada apa mimik ayah seserius ini, fikirku.

Saya kemudian duduk tepat di depan ayah. Tak lama kak Mujib pun datang dan duduk di sisi kanan ayah. Sejenak kami semua terdiam. Ayah kemudian melanjutkan bicaranya.

“Mujib, Nita, kalian adalah sama-sama anak ayah. Tak ada yang ayah bedakan. Kalian telah berumah tangga selama 15 Tahun. Ayah bersyukur kalian selalu rukun, berkecukupan, juga sepasang putra-putri kalian yang sehat dan lucu….”

Tiba-tiba ayah berhenti bicara. Sepertinya ada sesuatu yang sangat berat diucapkannya. Matanya pun kini berkaca-kaca. Apa yang sedang terjadi.

“Ada apa, ayah? Kak Mujib, ada apa??”

Kupandangi wajah ayah dan suamiku bergantian. Keduanya hanya diam. Kesedihan terlihat pada raut wajah keduanya. Mereka tertunduk.

“Kak Mujib, kak Mujib, ada apa??” Tanpa sadar ku guncang-guncang tubuh suamiku. Kugenggam kedua tangan ayahku.

“Ayah! Ada apa??”

Hari Jum’at Pukul 11.00. Suara Masjid sudah mulai bersahut-sahutan pertanda waktu sholat Jum’at sebentar lagi akan tiba. Semua itu menjadi saksi.

“Nita, hari ini Mujib telah resmi menceraikanmu, Nak”

“Apa??? Ayah bicara apa barusan????”

Seperti disambar petir disiang bolong. Kalimat ayah berusan benar-benar membuatku shock. Ku tatap mata Kak Mujib dengan tajam. Ingin kutemukan jawaban darinya. Kulihat kak Mujib seberusaha mungkin menenangkan dirinya.

“Ayah benar, dik! Sejak pertemuan ini saya bukan lagi suamimu. Saya men-talak-mu” Belum sempat kak Mujib melanjutkannya saya kembali memotong.

“Apa maksud dari semua ini, kakkk?? Suaraku meninggi, tangisku pun meledak sudah.

“Tenangkan dirimu, dik. Dengarlah baik-baik. Dua bulan belakangan ini, kakak bersama Mas Bram sudah mengkonsultasikan segala sesuatunya dengan ayah. Kakak terpaksa memutuskannya seperti ini. Kakak fikir jalan inilah yang terbaik. Benar katamu, cinta tak dapat dipaksakan”

Saya kini mulai memahami apa yang terjadi. Saya pun teringat, karena inikah kak Mujib tak henti-henti memeluk dan menciumiku seusai menjalankan ‘sunnah’ tadi malam?

Ya Allah, Tuhan pemilik takdir. Kuatkan hatiku. Kuatkan hati Kak Mujib.

Apa yang bisa kulakukan?? Saya hanya bisa menangis. Menangis sejadi-jadinya.

“Maafkan semua kesalahanku selama ini, kak” Tak henti ku memelas dan bersimpuh dihadapan kak Mujib.

Begitulah. Seperti mimpi saja rasanya. Semua terjadi begitu cepat. Tak lama selepas masa iddah perceraianku dengan kak Mujib, Mas Bram pun meminangku.

Kini setahun telah berlalu, di rumahku, bersama kedua anakku dari kak Mujib, kami sedang menunggu lahirnya buah cintaku dengan Mas Bram. Tujuh bulan sudah terus bergerak-gerak didalam rahimku. Tak henti-henti kami mengucap syukur. Cinta oh cinta. Ia memang sungguh anugerah Tuhan yang paling indah.

*********


Ahad, 22 Pebruari 2015

“Mama, mama, sini cepat! Lihat, ada papa tuh di TV” Sorak si bungsu kegirangan.

Saya lalu mendekat memperhatikan berita yang ditunjukkan oleh si bungsu. Suara TV ku besarkan.

Benar, di bundaran Hotel Indonesia, dihadapan ribuan pengunjuk rasa, lelaki sederhana itu sedang membakar gelora perlawanan.

Mas Bram kembali turun ke jalan, berdiri diatas sebuah mobil, memegang microphone, suaranya membahana, menggema-gema diatas langit Jakarta.

“Pergerakan tidak akan pernah mati. Ia akan selalu tumbuh di setiap tirani, sebab yang menggerakkannya adalah nur, cahaya dari langit.

Sadara-saudaraku…!! Dan kepada siapapun yang masih memiliki nurani, mari selamatkan KPK dari konspirasi para maling negeri ini.

Merdeka, Merdeka!!”



**************** Sekian


Cerpen ini kudedikasikan untuk Abraham Samad dan seluruh pegiat anti korupsi di negeri ini.

Tidak ada komentar: