Rabu, 18 Februari 2015

Cinta Tanah Air VS Nasionalisme

Cinta itu naluriah. Cinta pada tanah air itu bagian dari naluriah. Sama dengan cinta pada lawan jenis atau cinta pada harta. No problem. Sebab sesuatu yang naluriah itu bisa menjadi sebuah masalah hanya ketika ia disalurkan. Makanya Tuhan kasih kita aturan (agama), mengirimkan kepada kita Rasul. Untuk apa? Agar potensi masalah itu tidak kemudian benar-benar menjadi masalah. Lalu bagaimana dengan Nasionalisme??

Berbeda dengan cinta, nasionalisme bukanlah naluriah. Nasionalisme adalah sebuah doktrin yg mengharuskan adanya penyerahan kesetiaan tertinggi pada negara. Tentu tidak masalah juga kalau negara itu adalah negara baik-baik, dalam arti fungsi ke-negara-annya benar-benar hanya sebagai wadah bagi rakyatnya dalam mengapresiasi kesetiaannya pada Tuhan. Bagaimana jika sebaliknya. Negara justru menjadi kekuatan yg melarang rakyatnya untuk setia pada Tuhan??

Bah!! Dimana pula logikanya bahwa cinta tanah air adalah sebahagian dari iman??

Hebatkah membahas ini? Sebenarnya memang bukan hal hebat, tetapi penting diketahui agar kita tidak terjebak pada kesetiaan yang bukan semestinya, dan agar kita semua bisa mengambil bagian-sekecil apapun- dari upaya melepaskan kaum muslimin dari perbudakan ideologi-ideologi produk manusia.
Banyak diantara kita tidak menyadari bahwa sesunguhnya kita ini benar-benar telah keliru memahami banyak hal sebagai akibat dari opini-opini yang terus disosialisasikan para missionaris maupun media-media anti Islam. Missionaris yang bukan hanya dari non muslim tetapi justru dari kalangan muslim sendiri.

Penting! Muslim missionaris begini ini perlu dicerahkan. Perlu dicash otaknya. Mudah-mudahan batereinya masih bagus.

Ada yang bilang, sudahlah. Syukuri saja apa yang ada, yang penting damai, jangan saling membenci. Memang betul, bersyukur itu wajib, berkasih sayang itu harus, saling benci itu jauhkan. Tapi apa hanya dengan begitu tugas kehambaan kita jadi selesai?? Ternyata tidak. Setelah bersyukur, berkasih sayang dan tidak saling benci, kita juga wajib amar makruf nahi mungkar. Wajib dakwah. Wajib perang opini, wajib bilang benar yang benar dan bilang salah yang salah. Apa boleh buat, sudah seperti itulah jejak yang ditinggalkan Muhammad, dan kita sudah komitmen untuk mengikuti jejaknya, bukan??

Soal benar salah. Menurut siapa?? Standarnya mesti menggunakan benar salah versi Tuhan. Kalau nilai benar salah menggunakan standar menurutnya manusia pasti kacau. Manusia itu banyak. Fikiran, rasa, kemampuan dan seleranya juga beda-beda. Bahwa ada yang namanya suara mayoritas, okelah. Fakta manusia yang seperti inilah memang sehingga lahir konsep demokrasi yang katanya dari rakyat ke rakyat dan untuk rakyat itu. Persoalannya adalah, apakah ada jaminan bahwa keinginan suara mayoritas itu selalu baik dan selalu selaras dengan keinginan Tuhan?? Jawabnya pasti tidak. Kenapa? Faktanya sejak jaman pra sejarah, manusia-manusia itu hobbynya menantang aturan Tuhan. Uniknya lagi, jumlahnya selalu mayoritas. Nah, kalau manusia-manusia para penantang Tuhan yang jumlahnya selalu mayoritas itu berkehendak sesuatu yang menyelisihi apa kehendak Tuhan lantas kita pun yang mengakui diri beriman ini harus mengikutinya, apa itu bukan SALAH namanya??

Muhammad telah hadir membawa Islam yang sempurna. Islam yg tidak hanya memiliki aturan tentang hidup sebagai individu tetapi juga mengenai kemasyarakatan dan kenegaraan. Nah, kenapa pula Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim mesti hambur-hambur uang agar rakyat memilih orang-orang biasa (legislator) sebagai pembuat undang-undang tandingan?? Coba kalau uang itu dipakai untuk mensejaterakaan rakyat. Mungkin acara fiknik bersama keluarga kita tidak lagi harus terganggu oleh rengekan para pengemis jalanan. Mungkin wanita-wanita ibu rumah tangga kita tidak lagi harus meninggalkan suami dan anak-anaknya keluar negeri menjadi pembantu rumah tangga, atau bahkan menjajakan tubuh-tubuhnya.

Kita sepakat, al-qur’an itu sudah final. Tujuan hidup itu adalah mengabdi pada pencipta, Allah. Syarat pengabdian itu apa?? Ikhlas semata karena-Nya, dan caranya harus sesuai dengan yang di contohkan Rasul-Nya. Jadi, sebuah aktivitas yang keluar dari salah satu syarat itu, misalnya membantu orang miskin agar mendapatkan suaranya dalam pemilu, tidak usahlah dirasa sebagai pengabdian. Tidak usahlah dikira sebagai ibadah. Mana pernah Muhammad mengajarkan shadaqah politik. Biasa sajalah, seperti halnya dulu kalau kita main kelereng semasa kanak-kanak. Tidak dosa tapi juga tidak dapat pahala. Netral. Mubah, bahasa gaulnya.

Makassar, 23 Maret 2014

Tidak ada komentar: