23 March 2014
Cinta itu naluriah. Cinta pada tanah
air itu bagian dari naluriah. Sama dengan cinta pada lawan jenis atau cinta
pada harta. No problem. Sebab sesuatu yang naluriah itu bisa menjadi sebuah
masalah hanya ketika ia disalurkan. Makanya Tuhan kasih kita aturan (agama),
mengirimkan kepada kita Rasul. Untuk apa? Agar potensi masalah itu tidak
kemudian benar-benar menjadi masalah. Lalu bagaimana dengan Nasionalisme??
Berbeda dengan cinta, nasionalisme
bukanlah naluriah. Nasionalisme adalah sebuah doktrin yg mengharuskan adanya
penyerahan kesetiaan tertinggi pada negara. Tentu tidak masalah juga kalau
negara itu adalah negara baik-baik, dalam arti fungsi ke-negara-annya
benar-benar hanya sebagai wadah bagi rakyatnya dalam mengapresiasi kesetiaannya
pada Tuhan. Bagaimana jika sebaliknya. Negara justru menjadi kekuatan yg melarang
rakyatnya untuk setia pada Tuhan??
Bah!! Dimana pula logikanya bahwa
cinta tanah air adalah sebahagian dari iman??
Hebatkah membahas ini? Sebenarnya
memang bukan hal hebat, tetapi penting diketahui agar kita tidak terjebak pada
kesetiaan yang bukan semestinya, dan agar kita semua bisa mengambil
bagian-sekecil apapun- dari upaya melepaskan kaum muslimin dari perbudakan
ideologi-ideologi produk manusia.
Banyak diantara kita tidak menyadari
bahwa sesunguhnya kita ini benar-benar telah keliru memahami banyak hal sebagai
akibat dari opini-opini yang terus disosialisasikan para missionaris maupun
media-media anti Islam. Missionaris yang bukan hanya dari non muslim tetapi
justru dari kalangan muslim sendiri.
Penting! Muslim missionaris begini ini
perlu dicerahkan. Perlu dicash otaknya. Mudah-mudahan batereinya masih bagus.
Ada yang bilang, sudahlah. Syukuri
saja apa yang ada, yang penting damai, jangan saling membenci. Memang betul,
bersyukur itu wajib, berkasih sayang itu harus, saling benci itu jauhkan. Tapi
apa hanya dengan begitu tugas kehambaan kita jadi selesai?? Ternyata tidak.
Setelah bersyukur, berkasih sayang dan tidak saling benci, kita juga wajib amar
makruf nahi mungkar. Wajib dakwah. Wajib perang opini, wajib bilang benar yang
benar dan bilang salah yang salah. Apa boleh buat, sudah seperti itulah jejak
yang ditinggalkan Muhammad, dan kita sudah komitmen untuk mengikuti jejaknya,
bukan??
Soal benar salah. Menurut siapa??
Standarnya mesti menggunakan benar salah versi Tuhan. Kalau nilai benar salah
menggunakan standar menurutnya manusia pasti kacau. Manusia itu banyak.
Fikiran, rasa, kemampuan dan seleranya juga beda-beda. Bahwa ada yang namanya
suara mayoritas, okelah. Fakta manusia yang seperti inilah memang sehingga
lahir konsep demokrasi yang katanya dari rakyat ke rakyat dan untuk rakyat itu.
Persoalannya adalah, apakah ada jaminan bahwa keinginan suara mayoritas itu
selalu baik dan selalu selaras dengan keinginan Tuhan?? Jawabnya pasti tidak.
Kenapa? Faktanya sejak jaman pra sejarah, manusia-manusia itu hobbynya
menantang aturan Tuhan. Uniknya lagi, jumlahnya selalu mayoritas. Nah, kalau
manusia-manusia para penantang Tuhan yang jumlahnya selalu mayoritas itu
berkehendak sesuatu yang menyelisihi apa kehendak Tuhan lantas kita pun yang
mengakui diri beriman ini harus mengikutinya, apa itu bukan SALAH namanya??
Muhammad telah hadir membawa Islam
yang sempurna. Islam yg tidak hanya memiliki aturan tentang hidup sebagai
individu tetapi juga mengenai kemasyarakatan dan kenegaraan. Nah, kenapa pula Negara-negara
yang mayoritas penduduknya muslim mesti hambur-hambur uang agar rakyat memilih
orang-orang biasa (legislator) sebagai pembuat undang-undang tandingan?? Coba
kalau uang itu dipakai untuk mensejaterakaan rakyat. Mungkin acara fiknik
bersama keluarga kita tidak lagi harus terganggu oleh rengekan para pengemis
jalanan. Mungkin wanita-wanita ibu rumah tangga kita tidak lagi harus
meninggalkan suami dan anak-anaknya keluar negeri menjadi pembantu rumah
tangga, atau bahkan menjajakan tubuh-tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar