Tinta-tinta telah ditumpahkan dan warna-warna hanyalah jelman belaka...... Masihkah perlu kata ketika warna-warna itu telah mengungkap segala rahasia?? Iqra' bismirabbik....Tuhan yang telah mencipta segala.......
Kamis, 12 Februari 2015
Mafia Itu Bernama Voting
Karena kamu adalah calon mafia, maka aku tak perlu bertele-tele. Bukan begitu, kawan??
Demokrasi, kamu tahu?? Kata yang telah begitu kuat menghipnot kepala rakyat, model yang telah menjadi berhala dalam metode pemilihan pemimpin apa saja kita, itu sebenarnya tidaklah akan pernah menghasilkan apa yang selalu disebut dengan suara mayoritas. Kenapa? Karena para pemilih umumnya tidak lagi memilih berdasarkan keinginan sendirinya tetapi memilih karena keinginan segelintir orang bahkan hanya oleh satu orang yang me-remote-nya.
Bayangkanlah dibenakmu!!
Pemilik hak suara di daerah yang akan kamu garap berjumlah 10.000 orang dan kamulah satu-atunya kandidat yang berduit. Apa yang kamu harus lakukan??
“Rekrutlah dengan membayar 50 orang tokoh yang mampu mendapatkan pengikut masing-masing 100 suara, maka penentuan hasil voting pun menjadi selesai. Tiba-tiba lahirlah kamu sebagai wakil rakyat baru. Entah kualitasmu seperti babi ngepet, kuda lumping atau ayam ketawa. Deskripsi sederhananya begitu, sayang.
Apakah caleg selamanya berduit?? Pasti tidak. Meski begitu, janganlah bimbang dan risau. Mafia selalu punya cara. “Jika kamu tidak punya cukup banyak duit, maka pakailah jurus lain bernama PENCITRAAN”
Sebagai calon politisi, kamu sudah tentu harus memahami betul karakter dan psikis masyarakat kita yang sudah terlatih sebagai manusia jajahan selama berabad-abad. Catat! Masyarakat yang terbiasa hidup didalam iklim keterjajahan, biasanya selalu dihantui rasa takut tentang apa yang akan dimakan hari esok, dan olehnya itu mereka selalu membutuhkan figure yang mampu memberinya rasa aman. Manfaatkan peluang itu. Segera berikan, atau paling tidak, janjikanlah pada mereka rasa aman.
Caranya?? Pertama bisa membayar tunai dengan membagi-bagi amplop atau sembako, kedua, cukup dengan memperdalam ilmu retorika. Retorika?? Iya. Dengan retorika yang baik, seorang caleg tak perlu repot-repot memberi pendukungnya uang, apalagi mengupayakannya kesejahteraan. Cukuplah dengan janji-janji kosong tetapi dengan cara yang amat meyakinkan.
Cara ketiga, dan cara ini walau norak tapi lebih gampang dan efisien. Jika kamu kebetulan dilahirkan sebagai turunan pejuang, citrakan dirimu sebagai generasi penerus. Berpura-puralah idealis, juallah nama besar dan jasa masa lalu bapakmu, kakekmu atau moyangmu. Tetapi ingat, kebiasaanmu yang bermaksiat, bungkus serapat mungkin. Tambahan, jika calon pemilihmu adalah masyarakat religius, rajinlah ke Masjid sholat berjamaah, sumbanglah semen, dan bila perlu sesekali jadilah khatib di mimbar jumat.
Harus begitu kawan, sebab negeri kita adalah negeri demokrasi. Apa-apa semua harus suara terbanyak.
Apakah tidak ada lagi calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang baik, amanah dan religius? Apakah tidak ada lagi rakyat yang akan memilih berdasarkan hati nurani?? Ada. Pasti banyak juga. Tetapi seorang calon wakil rakyat yang berhati nurani itu biasanya enggan menggunakan cara-cara kotor, lemah dalam hal financial, pun tidak mahir memainkan ilmu retorika. Orang baik yang masuk ke panggung politik praktis cenderung gamang, serba salah dan jurus-jurusnya tanggung. Padahal, untuk sukses dalam bidang apa saja, terlebih itu adalah dunia politik, kata kuncinya adalah tidak boleh tanggung-tanggung. Sekali lagi, jangan tanggung-tanggung!!
Sebagai bentuk dukunganku atas ke-caleg-anmu, kawan, kubenarkan bahwa, dengan kondisi negeri yang seperti ini sistim politiknya, maka ‘perbaikan nasib’ lewat jalur politik praktis, memang merupakan salah satu cara yang memungkinkan kita mendongrak status social kita. Meski begitu, tetaplah berhati-hati, karena Abraham Samad ini kelihatannya agak beda. Biasakanlah tidak memakai kostum putih, karena kamu akan bertempur di medan yang becek penuh lumpur.
Maju sebagai caleg adalah upaya perbaikan nasib?? Iya!! Apa kalau bukan. Kata ‘perbaikan nasib’ lebih jujur dari pada kata ‘berjuang’. Faktanya, mulai dari kepala desa sampai presiden terpilih, legislative daerah atau pusat, perubahan yang paling mencolok ketika mereka terpilih adalah adalah perubahan gaya hidup. Lihatlah, buktikanlah!! Adakah perubahan bagi rakyat pemilih?? Perubahan pasti ada, tetapi perubahannya bukan bergerak maju. Justru mundur dan kehidupan rakyat semakin terpuruk.
Pada dasarnya juga, masyarakat awam atau pemilik mayoritas suara itu rata-rata masih memiliki hati nurani. Sayangnya, kemiskinan dan pengalaman terkhianatinya berkali-kali telah merenggut nyali dan kerelaan bernuraninya. Masyarakat hanya diakrabi, didermawani, dibantu urusannya sedemikian rupa manakala menjelang pemilu. Setelah itu, tunggu empat setengah tahun kemudian. Hikmah dari pengalaman begitu itu apa?? Masyarakat menjadi pragmatis. Cerdas tapi salah, pintar tapi bodoh, dan muncullah budaya memilih baru; “Ambil duitnya sekarang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Para calon itu hanyalah pembual, bukan??”
Demikianlah kawan, voting sebagai sebagai sebuah cara memilih ketika aklamasi tidak dimungkinkan dalam sebuah pemilihan adalah baik manakala yang bervoting itu adalah orang-orang beritegritas, jujur, punya rasa malu dan rasa terawasi oleh Tuhan. Sebaliknya jika tidak, atau dengan kata lain, manakala orang-orang yang bervoting itu adalah orang-orang yang tidak steril dari karakter seperti tersebut diatas, apa lagi jika jumlah voter berkarakter baik jauh lebih kurang dari jumlah voter berkarakter buruk, maka voting justru hanyalah akan menjadi sumber malapetaka.
Wal akhir, mari kita tidak menyalahkan siapa-siapa, karena SISTIM KENEGARAAN kita memang menuntut seperti itu. Olehnya itu, kalian kawan-kawanku yang caleg, tim sukses atau sekedar calon pemilih, berduit atau tidak, terpilih atau pemilih, hati dan fikiran kalian harus sama-sama brengseknya. Karena kalian adalah para mafia atau calon mafia.
“Jadilah orang besar dengan mengeksploitasi orang-orang kecil”
Untuk itu pula, jika anda adalah pembaca yang juga seorang mafia, dan jika anda berasumsi bahwa penulis juga adalah seorang mafia tetapi sedang sakit hati, maka komentari dan bantahlah seluruh isi tulisan ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar