Kamis, 12 Februari 2015

BAIK, AKU MASUK DALAM FIKIRANMU, LIBERALIS!

Serial Pemikiran Santri Bajingan - 8
26 September 2014

Terkadang kita duduk pejamkan mata, melihat diri di kelampauan 5, 10 atau 20 tahun lalu  yang perkasa, yang gagah dan bernyali luar biasa, lalu pada suatu ketika, ketika kita mendapati kedua tangan kita dengan kedua ibu jarinya menekan-menekan mata yang sedang khusyuk berpejam itu, bersiku diatas meja yang sekaligus berfungsi menopang berat kepala hingga tak sampai tersujud, kita temukan berbagai jawaban dari barisan pertanyaan panjang yang tak pernah bisa dijawab oleh buku, ijasah atau jasa konseling.

Mungkin. atau katakan sajalah iya.

Ah, kalau saja. Kalau saja apa?? Hempaskan lintasan itu sebelum menjelma menjadi kata. Sebab mungkin itu sudah pasti tak mungkin. Kau pikir waktu adalah seperti jam dinding yang kacanya bisa kau pecah lalu salah satu jarimu menyentuh dan memutar jarumnya sesuka putaran yang kau mau? Kau fikir dirimu seperti hikayat manusia goa yang terlelap hingga dinar yang digenggamnya tak lagi laku oleh karena musim beberapakali telah berganti? Tidak. Manusia-manusia seperti itu terlalu tak mungkin ada lagi di era nano teknologi ini. Era dimana penemuan sampah plastic berisi orok bayi telah hampir sama banyaknya dengan kardus-kardus kosong bekas tempat kondom yang dibagi gratis oleh ibu menteri. Era dimana fenomena cinta sesama jenis sebagaimana kaum Luth yang terbinasakan itu telah merengsek masuk ke parlemen oleh beberapa aktivis yang menyebut dirinya sebagai cendekiawan muslim.

Tak masalah, feminisme, human right, freedom of apa saja harus terus didengungkan oleh sebab kita adalah bangsa yang besar, beradab dan berpancasila sehingga oleh karena itu pula kita tak boleh terjebak pada klaim kebenaran pada hanya satu agama. Semua agama benar. Semua agama mengutuk ibu yang memasukkan bayi-bayinya kedalam tas kresek lalu membuangnya kepinggir jalan bercampur sampah kota. Semua agama mengutuk kekerasan apalagi bom bunuh diri.

Tetapi apakah semua agama juga membenarkan pembagia-bagian kondom gratis pada para pejantan yang kebelet bersenggama tetapi tak ingin spermanya membuahi sel telur sang peminim? Ya, semua agama membenarkan itu. Kita harus berkata begitu. Sekali lagi, jangan terjebak berkata tidak boleh atasnama agamamu  jika bagi agama-agama lain boleh.

Menggugat Tuhan atau memampang spanduk besar bertulis Tuhan telah membusuk, itu adalah hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia juga jika menembak kepala seseorang yang sedang sholat kerena terlapor sebagai teroris. HAM juga jika lelaki dan lelaki atau wanita dan wanita hidup serumah layaknya sebagai sepasang suami istri. Menikahi gadis yang telah baligh dan sudah memiliki hasrat biologis tinggi tetapi masih berumur dibawah 18 tahun itu justru melanggar HAM.

Agama punya garis jelas berbudaya dengan hukum Halal dan Haram. Tetapi menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal kini semuanya boleh asal saja atas nama HAM.

Apakah HAM itu lebih tinggi dari agama? Ya, karena manusia itu sebagus-bagus ciptaan. Manusia kini lebih pintar dari penciptanya. Tuhan membuat aturan A, manusia membuat aturan B. Pencipta menyeru agar hukumnya diterapkan, ciptaan menghadangnya dengan Hak Asasi Manusia.

Dalam Negara Demokrasi, Tuhan tidak lagi mampu otoriter sebagaimana ketika mengusir iblis dari sorga. Suara Tuhan hanya satu. Pasti tak bisa mengalahkan voting, pemilihan langsung atau melalui Perwakilan Rakyat.

Beragamalah secara sederhana, tidak usah melaksanakan agama itu secara menyeluruh. Kenapa? Karena melaksanakannya secara menyeluruh pasti konsekwensinya berhadapan dengan konstitusi Negara. Negara kita suka pada rakyat yang beragama secara ruhaniah saja. Siritual saja. Standar-standar saja. Membawa-bawa agama pada soal bisnis apalagi politik itu hanya menjadi bahan tertawaan mereka yang merasa muslim moderat lantaran pemikiran-pemikirannya sejalan dengan buku-buku barat. Lihatlah betapa dianggap bar-bariannya kelompok Islam yang menentang maksiat, atau mereka yang mempersoalkan kepemimpinan Ahok yang non muslim.

Muslim itu banyak yang korup, mesum dan sebagainya. Kenapa harus mempersoalkan Ahok yang nasrani tetapi pemberani, ceplas-ceplos dan bersih? 

Akhlak orang-orang Islam itu bobrok. Dana haji disikat, bantuan sapi di embat, ustads-ustadsnya banyak yang cabul. Aturan-aturan sosial Islam itu adalah aturan yang gagal. Maka terkutuklah kalian FPI yang suka ambil pusing pada prilaku sakit masyarakat. Terkutuklah kalian kelompok-kelompok Islam yang memperjuangkan syariat Islam. Kenapa mesti menggunakan syariat Islam? Kenapa tidak ikut saja pada syariat demokrasi dan HAM? Milik agama apakah itu demokrasi, HAM dan kebebasan? Semua agama memilikinya? Semua Agama benar? Diantara yang benar, adakah yang paling benar, atau standar saja semua? Tidak penting lagi bicara itu.
Era kini adalah eranya pluralisme. Konon kita semua anak-anak Ibrahim. Ibu-bapak kitalah yang telah mengkotakkan-kotakkan kita menjadi Islam, Yahudi atau Nashrani. Anak-anak yang lahir tanpa diketahui siapa bapaknya memilikikah watak persaudaraan iman yang lebih baik? Betulkah begitu?

Ah, kalau saja. Kalau saja apa?? Hempaskan lintasan itu sebelum menjelma menjadi kata. Sebab mungkin itu sudah pasti tak mungkin.




Tidak ada komentar: