Kamis, 12 Februari 2015

SEJARAHNYA TELANJANG

Serial Pemikiran Santri Bajingan - 7
05 September 2014

Baru saja saya membaca beberapa ayat dari surah Al- A’raf (11-26), dan itu lalu menginspirasiku menulis tulisan dibawah ini. Mohon dikoreksi jika ada kalimat-kalimatku yang meluncur bebas dan keluar dari konteks tafsir semestinya.

**************
Dulu sekali, dalam ketenteraman dan kedamaian masyarakat penghuni langit, tiba-tiba pada malaikat, Tuhan berkata:

“Aku akan jadikan Adam (manusia) sebagai khalifah di muka bumi.

Para malaikat tercengang, terkejut, heran dan saling bertanya.

“Bumi itu apa?”

“Bumi adalah sebuah planet dimana disana dimungkinkan makhluk hidup berkembang biak”

“Mengerikan”

“Ya, mengerikan, namanya juga belum pernah terhuni”

“Apa Adam mampu? Dan kenapa pula bangsa manusia yang terpilih?”

“Kurang tepat jika soal mampu atau tidak, tetapi apa Adam rela, apa Adam tidak merasa terdzalimi? Bukankah kehidupan disini sudah sangat nyaman dan indah?”

Fenomena Adam pun menjadi ramai dibicarakan. Pro dan kontra terjadi, bahkan santer pula berita-berita miring tentang manusia terdengar. Kira-kira mirip-mirip negatif campaign atau black campaign dalam sistim pemilu demokrasi.

Tetapi Tuhan telah bulat dengan keputusannya. Pilihannya telah mantap pada Adam. Kepemimpinan adalah hal paling urgen untuk sebuah peradaban. Bagaimana mungkin masalah itu diserahkan begitu saja ke tangan suara mayoritas??

Malaikat, makhluk mulia yang khusus dicipta sebagai pesuruh-pesuruh Tuhan, makhluk pekerja yang menjunjung tinggi loyalitas dan profesionalisme, makhluk yang dicipta dari inti cahaya, makhluk yang tidak memiliki potensi negatif sedikitpun, pada akhirnya tak kuasa menahan diri dan melakukan protes. Tuhan pun pada posisi tergugat.

“Kenapa mesti Adam yang Engkau pilih sebagai khalifah fil ardhi, Tuhan? Bukankah tabiat mereka hanyalah dengki, perang, saling bantai, bunuh-bunuhan dan bertumpah darah?”

Menyikapi aksi protes itu, marahkah Tuhan? memintakah Dia pembuktian malaikat bahwasanya tuduhan pada bangsa manusia itu bukan sekadar fitnah. Tidak. Tuhan tidaklah marah atas sikap agresif malaikat itu. Menanggapinya, Tuhan hanya memberi komentar singkat.

“Aku lebih mengetahui apa yang kalian belum ketahui”. KataNya.

Mendengar jawaban-Nya yang amat sangat diplomatis itu, malaikat pun serempak bersimpuh seraya bersaksi:
“Maha suci Engkau ya Allah, tak setitikpun ilmu yang kami miliki kecuali semua atas ijin-Mu jua”.

Maka pada babak selanjutnya, sebagai konsekuensi atas penunjukan Adam sebagai khalifah, diajarkanNyalah padanya segala nama, Dia pinjamkanlah 99 asmaul husnah-Nya. Untuk apa? Agar kelak manusia juga bisa mencipta sebagaimana Dia adalah pencipta.

Dia ciptakan pula surga dan neraka, bukan untuk kesenangan atau kemarahan-Nya, tetapi begitulah cara Tuhan mengajari, bagaimana manusia-manusia itu kelak mampu mengelola bumi, mengelola binatang dan tumbuh-tumbuhan, sumber daya alam, tanah, laut dan udara, pun mengelola sumber daya sesama manusianya sendiri. Reward and Punishment.

Evolusi terus berjalan. Tibalah kini hari paling bersejarah dari seluruh sejarah kehidupan ini. Hari itu adalah hari penganugerahan manusia sebagai makhluk termulia. Pada hari itu, lewat dialog dan titah, Tuhan secara langsung hadir ditengah para hadirin.

“Wahai para malaikat, Bersujudlah kalian pada Adam!!” Suara Tuhan membuat langit bergetar.

Tanpa pikir panjang dan banyak tanya lagi, malaikat pun seluruhnya segera bersujud kecuali satu diantara mereka bernama Iblis. Berbeda dengan malaikat lainnya yang bergenetik cahaya, Iblis adalah makhluk bergenetik api. Sejarah pembangkangan pun dimulailah dari sini.

“Apakah yang menghalangimu tidak bersujud pada Adam, padahal Aku yang menyuruhmu, wahai Iblis?” Tanya Tuhan.

“Tuhan, bagaimana mungkin aku yang Engkau cipta dari api bersujud pada dia yang Engkau cipta dari tanah. Bukankah aku lebih muliia?” Jawab Iblis penuh percaya diri.

Diluar dugaan, betapa murkanya Allah atas logika konyolnya itu. Logika yang sebenarnya belum tentu salah, hanya saja substansi masalah disini bukan pada benar salahnya sebuah alasan, bukan soal bahwa berpendapat itu adalah hak asasi. Sujudlah disini adalah soal Tuhan dan Hamba. Perintah dan loyalitas. Menolaknya adalah sama dengan mengusik harga diri-Nya.

“Keluar! Keluar kamu dari sorga ini. Sungguh tidak layak kamu menyombongkan diri didalamnya. Ketahuilah, sejak hari ini kamu sesat dan hina”

Dalam catatan sejarah manapun, inilah kali pertama Tuhan murka. Murka yang benar-benar murka dan sekaligus menjawab spekulasi tauhidisme iblis, bahwa Tauhid tertinggi dan benar itu ternyata bukan semata ketidak tundukan pada apapun selain pada-Nya, tetapi juga bagaimana seorang hamba tahu menempatkan diri secara tepat, ditempat yang tepat.

Mendengar putusan Pengadilan Ilahi tersebut, Iblis tertunduk. Mungkin ia sedang meratapi nasibnya. Tuhan tak mungkin lagi menarik kata-katanya. Tak ada lagi harapan taubat. Inilah takdirnya yang harus ia jalani.

“Baik, inilah takdirku. Meski begitu, aku tak boleh pasrah begitu saja, aku tak boleh mati begitu saja, aku harus tetap hidup. Jika aku terus hidup, akan kujerumuskan ummat manusia menjadi pembangkang-pembangkang Tuhan. Akan kugiring mereka menemaniku ke neraka jahannam.  Akan kubujuk dan kugoda mereka untuk lebih cinta dan lebih takut kepada materi daripada kepada Tuhannya. Akan Akan kulumpuhkan keimanan mereka dengan pujian, derita sakit, kemiskinan, kemuliaan, kemewahan, seks dan kekuasaan.” Iblis terus membatin.

“Baik, riwayat keshalehanku telah tamat. Inilah garis tanganku. Tetapi aku harus mengajukan banding kepada Tuhan. Tuhan maha adil, tak mungkin Dia melukai rasa keadilanku sedikitpun. Aku akan bicara pada-Nya atas nama Hak Azasi. Ya, Hak Azasi Manusi, kelak issu HAM ini juga pasti akan kujadikan senjata penyesatan manusia untuk menjadikannya alasan menolak beberapa hukum Tuhan”

Setelah terdiam dan berfikir cukup lama, wajah kusut dengan dahi mengerut kencang itu kini kembali normal. Tiba-tiba wajah Iblis berseri-seri.

“Berilah aku kekekalan hidup hingga mereka dibangkitkan, Tuhan!” Iblis mengajukan permohonan.

“Baik. Permohonanmu Ku-kabulkan. Ajalmu akan Ku-tangguhkan sepanjang kehidupan ini masih berlangsung”. Tuhan menjawab.

“Terima kasih, Tuhan. Tetapi karena manusia telah menjadi penyebab-Mu menganugerahiku kesesatan, aku bersumpah sejak hari ini akan selalu menghalangi manusia dari syariat-Mu yang lurus. Aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Akan kubuktikan, bahwa manusia yang Engkau telah istimewakan itu, adalah makhluk yang tidak tahu bersyukur”.

Mendengar manifesto sang Iblis, Tuhan pun sekali lagi berfirman. FirmanNya yang kemudian menjadi hukum alam selamanya.

“Sesungguhnya siapapun diantara manusia yang mengikuti propagandamu, niscaya akan Ku-jadikan mereka batu bara neraka jahanam”

Bagaimana pula dengan Adam? Adapun kepada Adam, Tuhan memberikannya segala kemewahan sorga dengan satu larangan. Tuhan berfirman.

“Wahai Adam, tinggallah kamu bersama perempuanmu itu di dalam sorga, lakukan apapun yang kamu suka. Nikmati segala apapun yang bisa membuat rasamu nyaman. Tapi ingat, jangan sekali-sekali kalian mendekati pohon ini. Pohon ini misterius, dan tidak usah kau mencoba menguaknya. Jika kau melampaui batasan-Ku, maka sungguh kamu telah menzalimi dirimu sendiri”.

Mendengar ultimatum Tuhan pada Adam, Iblis yang telah bersumpah menjadi penyesat manusia itu melihat kebijakan ini sebagai peluang emas. Konspirasi pun mulai dirancang.

“Aku akan mengawali karir missionarisku dari sini” Batinnya.

Iblis lalu membisikkan pada kedua manusia itu hasrat negatif untuk saling menampakkan aurat. Saling memandang dan mneyelami. Ketelanjangan adalah hal tak terpisahkan dari sebuah proses reproduksi dan regenarasi, bukan?

“Dekatilah pohon itu! Bujuk Iblis.

“Tuhanmu melarangmu mendekatinya hanya agar kalian tidak menjadi seperti malaikat atau agar kalian tidak tinggal selamanya didalam sorga ini. Bukankah sungguh sebuah derita jika tak lagi berada dalam sorga?” lakukanlah! Sungguh aku hanya ingin kalian bahagia” Lanjutnya.

Iblis, makhluk paling lihai berdiplomasi itu terus saja membujuk dan merayu keduanya. Pada akhirnya, pencitraannya sebagai teman terbaik yang memang telah dibangunnya selama ini berhasil meluluhkan hati keduanya. Iblis memahami betul bahwa trik paling ampuh untuk melumpuhkan mangsa adalah : Yakinkan!!

Maka tatkala keduanya mencicipi buah terlarang itu, lalu mendapati diri mereka masing-masing dalam kondisi tak berpakaian, sadarlah kedua insan itu. Mulailah mereka menutupi tubuhnya dengan dedaunan. Kini, betapa kemaluan telah benar-benar membuat mereka malu dihadapan-Nya.

Tuhan pun berseru: “Bukankah Aku telah melarangmu mendekati pohon itu? Bukankah aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan itu adalah musuh paling nyata bagi kalian berdua?”

Mereka tersungkur, menyesal dan meratap.

“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tak mengampuni dan memberi rahmat bagi kami, niscaya kami benar-benar adalah orang yang merugi”.
Tuhan berkata:

“Turunlah kalian ke bumi. Bumi adalah tempat dimana kalian akan bermusuhan satu sama lain. Disanalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang ditentukan. Di sanalah kamu hidup, disana kamu mati, dan dari sana pulalah kalian akan dibangkitkan kembali”

***************
Begitulah. Seperti halnya iblis yang harus menerima takdir kesesatannya sebagai akibat dari kepongahannya yang tidak mau bersujud pada Adam. Dengan berbagai rentetan peristiwa yang melingkupinya, Adam beserta isterinya (Manusia), pada akhirnya juga harus menerima takdir kekhalifahannya, sebagai akibat dari ‘ketelanjangannya’ karena tergoda bujuk rayu Iblis. Kausalitas.

Kini, makhluk istimewa bernama manusia itu, suka atau tidak, rela atau tidak, harus pula menerima takdirnya terlempar dari taman langit. Tak ada lagi kata terzalimi, sebab setelah anugerah cinta-Nya, anugerah kebebasan pun telah diberikan-Nya.

Takdir kepemimpinan, takdir kekhalifahan fil ardhi adalah sebuah proses politik panjang. Proses yang melibatkan kebebasan manusia untuk memilih dan menentukan. Proses yang harus disadari pula bahwa, meski semua itu melibatkan kita sebagai aktor didalamnya, juga hasil dari proses itu tidak akan pernah lepas dari skenario Allah. Bahkan mungkin, rekayasa Allah, Dzat yang maha kuasa, dzat penggenggam jiwa-jiwa kita semua.

Akal, anugerah istimewa Tuhan pada kita ummat manusia ini, bukan untuk digunakan sebagaimana iblis menggunakannya pada saat perintah sujud pada Adam. Bukan pula untuk digunakan sebagaimana Adam menggunakan kebebasannya pada saat memilih atau tidak mendekati pohon itu.

Jika saja kearifan para fisuf besar dunia terbukti mampu menjadi solusi atas segala problematika ummat manusia, maka tentu Tyghan tidak perlu lagi menurunkan wahyu-Nya. Tuhan telah melengkapi kita pedoman hidup berupa Alqur’an, dan Rasul telah mewarisi kita keteladanan.

Bahwa Allah telah menciptakan manusia sebagus-bagus ciptaan, maka tentu hanya Allah pula yang tahu, aturan sebagus-bagus aturan apa yang terbaik untuk makhluk terbaiknya itu.

Manusia ditakdirkan menjadi khalifah fil ardhi. Kita semua seharusnya adalah pemimpin.


Akankah kita masih mencari pedoman kepemimpinan lain selain yang dari-Nya??

Tidak ada komentar: