Selasa, 14 Mei 2013

Pengaruh Neo Feodalisme Dalam Budaya Politik Indonesia

"Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman serta penggunaan kekuatan”
( Niccolo Macchiavelli, dikutip dari buku Il Prince )

Secara sosiobudaya sisi buruk Neo Feodalisme telah terkonstruksi sebagai bagian dari budaya politik yang telah membawa implikasi sosial politik yang ‘tidak sehat’ dalam menunjang pembangunan demokrasi dan pengaruhnya terhadap terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Harus ada restorasi budaya politik (neo-feodalisme), demi mewujudkan Indonesia Baru yang maju, bermartabat, sejahtera, aman, rukun dan damai.

Budaya Politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri dari seperangkat ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui soleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.

Neo Feodalisme dalam dunia politik di Indonesia, tampak didominasi oleh latar belakang nilai-nilai Jawa. Alasannya, bahwa dominasi budaya Jawa baik di dalam kehidupan politik maupun birokrasi dikarenakan dari segi demografi orang Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar daripada penduduk-etnik lainnya di Indonesia, terutama di tingkat suprastruktur pemerintahan dan politik. Apalagi pusat pemerintahan berada di pulau Jawa.

Neo Feodalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah lama menggejala, terlebih dalam pilar-pilar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Ironinya, gejala neo-feodalisme ini justru ditunjukkan oleh oknum-oknum penguasa dari latar belakang sosial ‘kaum biasa aja’, di mana dalam praktek kekuasaan berusaha menampilkan sebagai ‘kaum bangsawan’. Ada tokoh yang berdarah bengsawan, tapi perilaku politiknya merakyat (demokratis); sebaliknya, ada seorang presiden yang berlatar belakang sosial ‘kaum biasa aja’, tapi lagak kuasanya seperti seorang raja – diktaktor.

Kredo negatif Neo Feodalisme tercermin dalam nepotisme di dunia politik praktis, misalnya :

“Kalau boleh diestafetkan kepada putra-putri dan istri ke jenjang posisi puncak partai, demi melanjutkan dinasti kekuasaan, kenapa harus diserahkan kepada pihak lain yang lebih berkualitas sebagai kader partai ?".

Itulah salah satu kenyataan dalam budaya politik Indonesia selama ini yang termasuk menghambat terwujudnya demokrasi dalam dunia birokrasi dan politik di tanah air.

Tujuan reformasi 1998 diantaranya adalah mewujudkan pemerintahan demokratis yang berani membasmi korupsi, kolusi dan nepotisme sampai ke akar-akarnya. Akar terkuat korupsi adalah kolusi dan akar terkuat kolusi adalah nepotisme.

Sampai hari ini, memang sudah disusun payung hukum untuk melawan korupsi dan sudah dibentuk institusi khusus untuk membasmi korupsi. Terlepas dari carut marut persoalan upaya pembasmian korupsi di Indonesia selama ini. Lantas bagaimana halnya dengan kolusi dan nepotisme ? Mengapa belum juga hadir payung hukum untuk membasmi kolusi dan nepotisme ? Apakah memang disengaja tidak dibuat payung hukum untuk membasmi kolusi dan nepotisme demi melanggengkan kolusi dan nepotisme dalam budaya politik maupun pemerintahan di Indonesia ?

Sejarah sosial, politik dan budaya di Indonesia masih saja selalu dibayangi oleh adanya praktek-praktek feodalisme dan sudah berevolusi menjadi neo feodalisme sebagai salah satu peninggalan warisan nenek moyang sejak zaman kerajaan di masa lalu yang selama ini senantiasa tumbuh dan berkembang.

Dalam struktur yang menciptakan stratifikasi sosial yang timpang di Indonesia, masih juga tampak kondisi masyarakat awam pribumi sebagai golongan mayoritas yang menjadi sub ordinat karena berada dalam dominasi dan hegemoni golongan elite kekuasaan. Salah satu akibat yang paling kental nyata dapat disaksikan dalam kehidupan sosial dan ekonomi, yaitu adanya praktek-praktek neo feodalisme yang secara halus telah melahirkan kultur patronase yang kental.

Istilah 'patron' berasal dari ungkapan Bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti 'seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh'. Sedangkan klien berarti 'bawahan' atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat. Baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau, dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya.

Bentuk baru dari patronisme dalam sebuah partai politik akibat adanya pengkultusan terhadap tokoh tertentu di sebuah partai. Sebagai contoh dapat disaksikan disetiap partai politik yang memaksa partai menempatkan tokoh yang telah dikultuskan untuk menempati posisi tertinggi, sampai dengan seluruh keluarga secara turun temurun akan mendapatkan prioritas utama disetiap kesempatan perekrutan.

Sebagai ilustrasi, (maaf) Ibu Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, sebagai pucuk pimpinan. Posisi sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan yang tak tergantikan dan sangat dihormati serta di kultuskan, karena Ibu Megawati adalah sebagai pendiri PDI Perjuangan sekaligus sebagai anak Bung Karno yang merupakan garis keturunan secara biologis dan (maaf) bukan keturunan ideologis Bung Karno. Dalam faktanya selama ini Ibu Megawati Soekarnoputri dikultuskan tanpa ada ada alasan untuk bisa menggantikannya. Itulah salah satu contoh bahwa Indonesia memang masih sangat berbau mengkultuskan seseorang. Selain itu juga ada nepotisme dalam PDI Perjuangan yang diantaranya terbukti jelas dengan hadirnya keterlibatan Taufik Kiemas dan Puan Maharani dalam politik.

Bila kita coba melihat ke negeri “Sakura” sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem masyarakat feodal, yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan di kuil dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya (sekolah kuil). Mirip dengan pesantren di Indonesia. Namun, semenjak Restorasi Meiji dikibarkan, bagai bola salju, pemerintah Jepang terus “menggelindingkan” puspa ragam kebijaksanaannya dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masing-masing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang akan dapat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan kemajuan dunia Barat.

Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa Yukichi, yang punya gagasan cemerlang. Gasan yang terkenal tercetus dalam bukunya berjudul Gakumon no Susume (Jepang: di antara Feodalisme dan Modernisasi) menyatakan pada bagian pendahulaun buku tersebut “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara adalah melalui pendidikan sebab Tuhan tidak menempatkan manusia yang lain. Kalau kenyataan dalam masyarakat memang ada orang yang berkedudukan lebih tinggi dan ada pula yang berkedudukan lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena yang berkedudukan tinggi telah mementingkan pendidikan, sedangkan yang rendah sebaliknya”.

Kemajuan bangsa Jepang bertambah “runcing” sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) — setelah Jepang kalah perang pada PD II — banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Struktur baru pendidikan yang dikembangkan Amerika Serikat seperti diuraikan oleh Cummings (1984), ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan, yaitu :

Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Bertujuan untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya.

Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun, punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraaan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja.

Ketiga, setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja.

Keempat, universitas harus berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang di kembangkan Amerika Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang Dunia II.

Kegiatan Jepang dalam cerdas dan mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Inggris maupun Prancis.

Indonesia dianalogikan sebuah danau, akselerasi budaya politik yang berorientasi kepada nilai-nilai feodalisme dan nepotisme diibaratkan tumbuhan air (enceng gondok) perkembangannya semakin tak terbendungi. Kalau dibiarkan/tidak dicegah, suka tidak suka, ada bahayanya bagi kehidupan sosial politik (demokratisasi), terutama dalam mengembangkan pola hidup yang mengandalkan kompetensi, prestasi dan profesionalisme di semua latar pilar-pilar kekuasaan bangsa dan negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif).

Sebagaimana analogi danau dipenuhi enceng gondok yang dimaksud, bahwa sudah lebih satu dekade (1998 – 2013) Indonesia menghirup udara reformasi, setuju atau tidak perubahan yang diharapkan sesuai dengan tuntutan reformasi yang diusung oleh elemen-elemen reformasi, khususnya tuntutan reformasi dari para mahasiswa pejuang reformasi 1998 belum terwujud sebagaimana yang diharapkan.

Di samping telah dihapuskan kebijakan politik dwi-fungsi ABRI, dan diterapkannya otonomi daerah serta maraknya euphoria (kegembiraan karena hadirnya kebebasan) sosial politik di masyarakat yang ditandai dengan tiada hari tanpa ‘aksi massa’.

Akan tetapi yang sangat disesalkan adalah bahwa tuntutan lainnya seperti penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, profesionalisasi birokrasi dalam kenyataan masih menunjukkan suasana keprihatinan.

Justru akhir-akhir ini keadaan semakin kacau dan semakin memburuk. Harus dilakukan revolusi sosial sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi keadaan tersebut.

Sumber: Google

Tidak ada komentar: